Arsip untuk Maret, 2013

Mungkinkah kita akn memasukkan racun atau materi berbahaya ke mulut atau tubuh bayi yang masih suci, mungil, lucu, dan penghibur hati? Bila kita berani melakukannya, bukankah kita hendak membunuhnya? Atau menghancurkan masa depannya? Karena racun beresiko kematian atau akan merusak organ dan syarafnya, atau materi berbahaya itu bisa menjadikan anak mengalami cacat fisik dan gangguan mental sepanjang hidup.

 

Bila bibit penyakit penderita TBC, hepatitis, meningitis, HIV, campak, volio atau penyakit lainnya yang menyarang di tubuh seseorang diambil, baik berupa bakteri atau virus, lantas diolah sedemikian rupa entah dengan istilah dilemahkan atau dilumpuhkan, kemudian bibit penyakit tersebut diperbanyak lalu disuntikkan ke tubuh anda atau anak anda…!

 

Apakah dengan senang hati anda menerimanya? Aksi memasukkan bibit penyakit inilah yang akrab disebut vaksinasi atau imunisasi.

 

Mungkinkah tindakan ini bisa meningkatkan daya tahan tubuh bayi, anak-anak atau orang dewasa sekalipun?

 

Bayi yang masih lemah, lunglai, dan hidup dalam timangan kedua orangtuanya, belum mengenal apapun kecuali tangis, tawa, minum/makan, tidur dan tidak pernah menolak apapun yang dimasukkan ke mulutnya atau disuntikkan ke tubuhnya yang lembut. Dia begitu pasrah menerima apapun prilaku orangtuanya. Nah, ayah dan ibunya yang harus memilih dan memilah apa yang terbaik untuk ditelan atau dimasukkan ke tubuh si buah hatinya.

 

Lagi-lagi, mungkinkah orangtua membiarkan ragam racun ditelan ataumerayap di seluruh pembuluh darah dan bersarang di organ-organ tubuh anak kesayangannya? Orangtua yang sehat dan arif tentu akan menolak keras bahkan menentangnya bila hal itu terjadi.

 

Di sisi lain, mungkinkah racun merupakan media yang tepat dan dibenarkan untuk menjaga kesehatan atau meningkatkan daya tahan tubuh? Apa ada orang yang bisa sehat dan kuat bila seluruh jaringan tubuh dan pembuluh darahnya dipenuhi racun atau zat berbahaya bagi tubuh itu sendiri? Bagaimana pula bila racun itu sudah menyusup dan mendekam dalam tubuh seseorang sejak lahir? Bahkan sebelum ia terbentuk?

 

Bayangkan pula bila racun yang masuk menyatu dengan darah dan mendekam di organ-organ kita ternyata adalah virus dan bakteri penyakit berbahaya? Atau racun itu merupakan bahan baku khamr (minuman memabukkan), nuklir, bom atom, sabun cuci, pembersih lantai, baterai, pewarna pakaian (cat) dan bahan berbahaya lainnya? Ada lagi racun yang dimasukkan ke tubuh berasal dari babi, bangkai, darah dan nanah.. Mari kita renungkan

 

Setelah mengatahui ragam racun yang akan masuk ke tubuh bayi atau tubuh kita, apakah kita akan pasrah atau oke-oke saja dengan alasan kesehatan?

 

Adapula dengan alasan kesehatan dan meningkatkan daya tahan tubuh, seorang bayi harus menelan atau disuntikkan kasein (salah satu bahan baku lem/perekat) dan fenol (bahan desinfektan, pewarna, pengawet dan plastic)? Atau disuntik bahan berbahaya formalin? Mungkinkah seseorang yang ingin menguji daya tahan tubuhnya harus menelan bahan berbahaya seperti alcohol, merkuri (air raksa) atau mungkin bahan bakar?

 

Atau pengujian daya tahan tubuh ditempuh dengan cara makan bangkai, darah, nanah, kotoran dan menghirup bibit penyakit yang mengandung virus dan bakteri yang konon tidak ada obatnya? Apa yang terjadi bila hal itu dilakukan? Akankah daya tahan tubuh kita meningkat dan semakin sehat? Atau malah sebaliknya, jiwa raganya rusak dan tak lebih dari bunuh diri?

 

Alhasil, apakah mungkin ada orangtua atau anggota keluarga yang mau meletakkan bangkai, virus, kuman, bakteri, darah atau bahan-bahan beracun dan berbahaya di ruang tamu rumah? Atau menjadikan bahan-bahan vaksin sebagai hiasan di kamar tidur dan menyimpannya sebagai barang berharga di lemari, brankas atau laci rumah? Bila kita menolak dan ngeri menjadikan bahan-bahan vaksin/imunisasi sebagai hiasan rumah, mengapa banyak orang dengan suka rela dan bangga memasukkan bahan-bahan berbahaya itu ke tubuh manusia sehat?

 

Inilah barangkali sekelumit akumulasi pemikiran tentang vaksinasi atau imunisasi.

 

Betapa deretan laporan korban vaksinasi dan imunisasi semakin bertambah. Kegalauan, kecemasan dan ancaman resiko imunisasi kian menghantui masyarakat. Sayangnya kebijakan terhadap masalah ini semakin menguat, bahkan ragam vaksin baru bermunculan untuk balita, pasangan pra-nikah, wanita hamil sampai calon jamaah haji pun harus divaksin. Tentu hal ini mengundang tanda Tanya besar. Sayangnya banyak pihak tak berdaya untuk menghindari dan menghadangnya? Bagi hati dan akal sehat, tentunya akan berfikir ulang bahkan menolak bila mengetahui kandungan bahan-bahan yang terkandung dalam vaksin (baca: virus/bakteri). Begitu pula bagi pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kesehatan masyarakat dan masa depan generasi wajib kiranya menghindarkan dan menyelamatkan umat dan bangsa dari semua hal yang berpotensi merusak dan menghancurkan kesehatan dan masa depan generasi.

 

Seperti yang dilakukan Dr. Siti Fadilah Supari saat menjabat Menteri Kesehatan melalui bukunya Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan Di Balik Virus Flu Burung,  secara terang-terangan mempertanyakan dan mendesak dikaji ulang keberadaan Namru 2 (Naval Medical Reseach Unit) proyek riset milik militer AS yang berperan dalam masalah vaksin. Dia juga yang menentang proyek jual beli virus flu burung dan praktek-praktek kotor bisnis virus oleh Amerika Serikat.

 

Siti Fadilah yang kini menjadi anggota Dewan Penasehat Presiden mengamati adanya konspirasi Amerika Serikat dan WHO dalam mengembangkan “senjata biologis” dengan menggunakan virus flu burung. Akibatnya, Siti Fadilah dinilai “membuka kedok” badan kesehatan dunia (WHO) yang lebih dari 50 tahun Mewajibkan virus sharing yang banyak merugikan Negara miskin dan berkembang asal virus tersebut.

 

“Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke Negara kita,” ujar Siti Fadilah kepada pers.

Vaksin yang dikembangkan selama ini adalah salah satu produk farmasi, sedangkan mengenai kehalalan produk farmasi sendiri dikritisi oleh Direktur LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia) Lukmanul Hakim, yang menegaskan bahwa sampai saat ini pihaknya belum meneluarkan sertifikasi halal untuk produk obat-obatan, termasuk vaksin. “Menurut data LPPOM MUI belum ada satu pun obat yang beredar di Indonesia bersertifikat halal. Belum ada yang mengajukan sertifikasi juga,” ujarnya saat membuka seminar tentang pentingnya penyediaan produk halal di Jakarta, baru-baru ini.

 

Amidhan, Ketua Majelis Ulama Indonesia pun menegaskan hokum mengkonsumsi obat dan vaksin sebenarnya sama dengan hokum mengkonsumsi produk pangan, yakni harus halal.

 

Vaksinasi dan imunisasi

 

Ancaman dan bahaya vaksin yang tengah digelorakan oleh banyak pihak, membuat hati Ummu Salamah mendidih sehingga dia tergugah untuk merilis sebuah buku berjudul Imunisasi Dampak, Konspirasi & Solusi Sehat ala Rasulullah SAW. Melalui bukunya, alumni fakultas hokum Universitas Taruma Negara ini mengupas tentang kandungan vaksin (imunisasi) serta bahayanya bagi tubuh.

 

Dia berusaha membeberkan fakta-fakta bahan dasar vaksin yang tergolong “haram”, dan data korban yang berguguran akibat vaksin (imunisasi) serta ungkapan para ahli kesehatan tentang dampak buruk memasukkan zat (formula) tersebut ke dalam tubuh. Lebih mengerikan lagi vaksinasi (imunisasi) dijadikan program pemerintah dengan alas an perlindungan kesehatan.

 

Pada umumnya masyarakat telah menelan pemahaman bahwa vaksinasi atau imunisasi sebagai usaha perlindungan tubuh dari penyakit berbahaya. Sayangnya banyak orang belum atau tidak memahami bahan-bahan vaksin itu sendiri, dan mereka hanya beranggapan bahwa vaksin seolah obat kuat atau zat yang penuh vitamin untuk meningkatkan daya tahan dan kebugaran. Seperti diungkapkan dengan polos oleh Suparman, tukang ojek di kawasan Jatiasih, Bekasi ketika ditanya tentang imunisasi. “Ya, satahu saya imunisasi itu untuk memperkuat bayi dari serangan penyakit bahaya. Kalau dia sudah diimunisasi, kan dia bisa kebal penyakit. Katanya sih begitu, say amah orang awam,” tukasnya.

 

Hal senada juga diucapkan ibu Nuri, warga Cilincing, Jakarta Utara. “Saya takut kalau anak tidak diimunisasi, katanya kalau tidak diimunisasi anak gampang kena penyakit. Ya kita mah ikut saja.”

 

Sementara Syafril, melalui Radio Dakta, Bekasi mengaku menolak vaksin meningitis setelah tahu kandungan dan bahayanya, namun dia tak berdaya menjalani program tersebut lantaran sudah jadi program dan tidak bisa berangkat haji bila menolak.

 

Definisi Vaksin/imunisasi

 

Vaksin berasal dari kata vaccinia, penyebab infeksi cacar pada sapi. Secara umum vaksin adalah suatu bahan yang diyakini dapat melindungi orang terhadap penyakit. Vaksin dibuat dari virus atau bakteri pathogen yang menyebabkan terjadinya penyakit. Konon sedikit bahan pathogen yang disiapkan lalu disuntikkan ke dalam tubuh sehingga dapat membantu memerangi penyakit yang lebih ganas atau didapat secara alami. Tujuan utama vaksin adalah merangsang pembentukan antibody dengan konsentrasi yang cukup tinggi untuk menghentikan perjalanan pathogen sehingga mencegah mereka dari terjangkitnya penyakit.

 

Pada dasarnya vaksinasi adalah usaha merangsang daya tahan tubuh dengan memasukkan bibit penyakit yang dilemahkan dan diproses dengan bahan lain. Dimasa lalu, vaksinasi menggunakan banyak bahan dasar serum binatang, namun penggunaan bahan ini dilarang lantaran dampak buruknya tak terbendung. Lantas vaksin dimodernisasi dengan bahan dasar bakteri dan virus. Bila disederhanakan, menurut ahli farmasi dan tanaman obat Universitas Indonesia Dr. Abdul Mu’nim, Apt. vaksinasi atau imunisasi adalah usaha memancing daya tahan atau pertahanan tubuh seseorang dengan bahan-bahan tersebut.

 

Dengan demikian, sesungguhnya vaksinasi atau imunisasi tidak ada hubungannya dengan peningkatan daya tahan tubuh, mengingat fungsinya hanya merangsang atau memancing sejauh mana daya tahan tubuh seseorang. Karena itu yang dilakukan pada umumnya hanya merangsang daya tahan tubuh dari penyakit tertentu dengan bibit penyakit sejenis. Contohnya untuk menguji daya tahan seseorang terhadap virus meningitis dengan memasukkan vaksin dari bibit penyakit meningitis. Untuk menguji daya tahan seseorang dari penyakit cacar dengan memasukkan vaksin dari bibit penyakit cacar, dan begitu seterusnya.

 

Sebenarnya praktek vaksinasi atau imunisasi bisa dianalogikan terhadap kondisi social masyarakat, yaitu ketika kita ingin menguji ketahanan atau daya tahan suatu kampong terhadap premanisme dilakukan dengan cara mengirim preman terlatih ke kampung tersebut. Bila daya tahan kampung tersebut baik, maka preman tersebut bisa diusir dan dilumpuhkan. Tapi bila pertahanannya kurang baik preman tersebut akan mendekam/berdiam diri menunggu reaksi. Celakanya bila pertahanan kampung tersebut buruk, bahkan banyak bibit-bibit preman, maka preman yang dikirim bisa dengan mudah mempengaruhi bibit preman dan bekerja sama merusak kampungnya sendiri. WALLAHUA’LAM..

 

Sementara itu pengasuh Klinik Sehat dr. Agus Rahmadi mengatakan vaksinasi pada prinsipnya adalah melatih tubuh untuk membentuk system pertahanan terhadap mikroorganisme tertentu, dengan cara menggunakan mikroorganisme tertentu yang dilemahkan. Namun perlu diingat bahwa system imunitas kita perlu di booster (dilatih) berulang-ulang supaya system pertahanan tubuhnya selalu siap bila seandainya ada mikroorganisme masuk.

 

“Maka dari itu kita sering mendengar adanya vaksin yang harus disuntik berkali-kali bahkan ada yang setiap dua tahun atau bahkan pada saat SD pun harus diulang lagi. Bila tidak dilakukan berulang maka tubuh tidak membentuk system imunitasnya. Tapi pada kenyataannya bila kita perhatikan walaupun sudah diimunisasi tapi masih banyak yang terkena penyakit, sebagai contoh ketika vaksin campak dimasyarakatkan ternyata masih banyak penduduk kita yang terkena campak padahal sudah divaksin campak,” ungkapnya.

 

Dia juga memberikan contoh lain seperti pemberlakuan vaksin cacar, ternyata penderita cacar membengkak, begitu juga vaksin lainnya.

 

Untuk itu dia mempertanyakan efektifitas vaksinasi. “Kenapa ini bisa terjadi, dimungkinkan banyak factor, dari cara memvaksinnya, penyimpanannya, atau mungkin vaksin memang kurang efektif,” ucap Agus Rahmadi

 

Belum lagi, lanjutnya seperti diketahui bahwa vaksin banyak menggunakan unsure-unsur haram, seperti yang pernah dihebohkan. Diantaranya vaksin meningitis untuk jamaah haji yang mengandung babi. “Sayangnya dengan alasan darurat, vaksin tersebut tetap diberikan. Tapi mengapa kalau darurat kok dilakukan setiap tahun, dan berulang-ulang? Apakah ini tergolong darurat? Bukankah Allah Ta’ala tidak mungkin menjadikan obat dari barang yang haram, belum lagi bahaya merkuri sebagai bahan vaksin yang banyak mengendap di dalam tubuh dapat merusak syaraf dan ginjal(neurotosik dan nefrotoksik),” tegasnya.

 

Agus Rahmadi menambahkan sebenarnya vaksin diberikan hanya untuk alasan jaga-jaga (preventif), artinya belum pasti terjadi. Untuk itu dia kembali mempertanyakan, Apakah dengan alasan  jaga-jaga harus mengorbankan akidah dan kesehatan?

 

Padahal Allah Ta’ala sudah menciptakan manusia dengan sempurna termasuk system imunitasnya. “Kenapa tidak kita berdayakan system imunitas kita dengan cara lain tanpa harus menggunakan barang haram dan berbahaya, seperti tuntunan tahnik, mengkonsumsi madu atau habatssauda yang sudah terbukti meningkatkan system imunitas?” jelas Agus Rahmadi.

 

3 Persoalan Vaksin

 

Mencermati masalah virus membuat Presidium MER-C Joserizal Jurnalis geram. Belum lama ini kepada pers dia menegaskan bahwa dalam penelitian masalah virus terdapat 3 persoalan besar, yaitu persoalan bisnis, persoalan keamanan negara dan persoalan umat manusia. Dengan mendapat sampel virus dan maneliti virus tersebut bisa diketahui rekaman jejak DNA (Deoxyribonucleic Acid/DNA-code) sehingga bisa dibuat vaksin.

 

“Sasaran vaksin ini adalah Negara-negara berkembang yaitu Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Sedang yang mengambil keuntungan dari vaksin ini adalah Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Masalah vaksin seharusnya adalah concern kita semua untuk memberantasnya,” ucap Joserizal.

 

Penggunaan bahan haram dalam pembuatan vaksin ini diakui oleh produsen vaksin terbesar di tanah air yaitu Biofarma. Seperti pernah diungkapkan Drs. Iskandar, Apt., M.M ketika menjabat Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT. Biofarma kepada Hidayatullah.com beberapa waktu silam. Dia menjelaskan bahwa enzim tripsin babi masih digunakan dalam pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio(IPV).

 

Selain penggunaan tripsin, produksi vaksin juga menggunakan media biakan virus (sel kultur) yang berasal dari jaringan ginjal kera (sel vero), sel dari ginjal anjing, dan dari retina mata manusia.

 

Sementara Kepala Devisi Produksi Vaksin Virus PT. Biofarma, Drs. Dori Ugiyadi mengatakan, ketiga sel kultur tersebut dipakai untuk pengembangan vaksin influenza. “Di Biofarma, kita menggunakan sel ginjal monyet untuk produksi vaksin polio. Kemudian sel embrio ayam untuk produksi vaksin campak,” ujar Dori seraya menambahkan secara umum produksi vaksin masih menggunakan berbagai macam sel yang berasal dari hewan maupun manusia.

 

Biofarma juga dipercaya memproduksi vaksin Flu Babi (H1N1) secara missal pada November 2010, setelah melakukan clinical trial (uji coba klinik) akan dilakukan pada Maret 2010. Vaksin H1N1 baru atau A-H1N1 (virus Flu Babi yang menular dari hewan ke manusia) akan diproduksi secara missal oleh PT. Biofarma pada November 2010. Antaranews juga melansir, produksi vaksin H1N1 baru ini sebanyak 1/10 dari jumlah penduduk Indonesia dan distribusi vaksin secara gratis akan diprioritaskan kepada petugas yang merawat pasien Flu Babia tau Flu Burung, Ibu dan anak-anak. Sedangkan pembuatan vaksin H5N1 (Flu Burung) akan dilakukan pada awal 2011.

 

“Yang jelas, produksi itu tidak akan terlambat, karena virus itu mudah bermutasi dan tinggal mengganti strain (galur/regangan). Kami akan memproduksi 27 juta dosis pertahun dan akan didistribusikan kepada masyarakat secara gratis dengan dana dari APBN sebesar Rp 1,3 triliun mulai dari penelitian pada tahun 2008-2009 hingga produksi pada tahun 2010-2011,” kata Dirut Biofarma, Iskandar.

 

Cara membuat vaksin

 

Dari data yang dihimpun, di antara cara membuat vaksin melalui beberapa tahap. Proses pembuatan vaksin Polio misalnya, biasanya ditempuh dengan mengembangbiakkan virus polio untuk pembuatan vaksin polio inaktif (IVP). Virus Polio dikembangbiakkan menggunakan sel vero (berasal dari ginjal kera) sebagai media. Proses produksi vaksin ini melalui tahapan sebagai berikut :

  1. Penyiapan medium (sel vero) untuk perkembangbiakan virus.
  2. Penanaman/inokulasi virus
  3. Pemanenan virus
  4. Pemurnian virus
  5. Inaktivasi/atenuasi virus

 

Penyiapan media (sel vero) untuk pengembangbiakan virus dilakukan dengan menggunakan mikrokarier, yaitu bahan pembawa yang akan mengikat sel tersebut. Bahan tersebut adalah NN Diethyl Amino Ethyl (DEAE). Pada proses selanjutnya sel vero ini harus dilepaskan dari mikrokarier menggunakan enzim tripsin. (saat ini, enzim tripsin umumnya didapat dari pancreas babi. Tahap selanjutnya adalah pembuangan larutan nutrisi. Hal ini dilakukan dengan proses pencucian menggunakan larutan PBS buffer. Larutan ini kemudian dinetralkan dengan menggunakan larutan serum anak sapi (calf serum). Larutan yang tidak digunakan tersebut dibuang atau menjadi produk samping yang digunakan untuk keperluan lain.

 

Sel-sel vero yang sudah dimurnikan dan dinetralisasi itu kemudian ditambahkan mikrokarier yang baru dan ditempatkan di bioreactor yang lebih besar. Di dalamnya ditambahkan zat nutrisi yang tahap selanjutnya dalam proses pembuatan vaksin ini adalah perbiakan sel vero menjadi produk bulk yang siap digunakan . dalam tahap ini dilakukan proses amplifikasi (pembiakan sel dengan mikrokarier), pencucian sel vero dari tripsin, inokulasi virus (pembiakan virus pada sel vero), panen virus, filtrasi, pemurnian dan inaktivasi.

 

Untuk pembuatan vaksin rabies misalnya, bahan percobaan adalah otak mencit (tikus kecil) yang mengandung virus rabies. Virus yang sudah pernah dipanen dapat disimpan pada suhu -200C (freezer) baik dalam bentuk otak mencit segar yang direndam dalam Dulbecco’s Modified Eagle Medium (DMEM) produksi FLOW, lab yang mengandung 2% foetalbovine serum (FBS) maupun dalam bentuk supernatant. Hewan percobaan yang digunakan adalah 9 ekor mencit putih umur 3 minggu yang sudah lepas sapih dan sehat. Untuk tujuan pengembangbiakan virus dalam rangka pelestarian, 6 ekor disuntik virus rabies, sedangkan 3 ekor untuk control negative atau tidak diberi perlakuan apapun. Bahan lain yang dipakai adalah Phosphate Buffer Saline (PBS) pH 7,2 yang mengandung antibiotic Penisilin dan Streptomisin 1.

 

Sedikit berbeda untuk menumbuhkan sel vero dalam jumlah ayg lebih besar. Sel vero yang sudah bertambah jumlahnya ini kemudian dilepaskan lagi dari mikrokariernya dengan tripsin babi lagi. Proses ini berlangsung secara berulang-ulang sampai dihasilkan sel vero dalam jumlah yang diinginkan.

 

Titik kritis ditinjau dari sudut kehalalan dalam pembuatan sel vero ini adalah penggunaan enzim tripsin. Tripsin digunakan dalam proses pembuatan vaksin sebagai enzim proteolitik (enzim yang digunakan sebagai katalisator pemisahan sel/protein).

 

Tripsin dipakai dalam proses produksi OPV (Oral Polio Vaccine) dan IPV (Inactivated Polio Vaccine). Sebenarnya dalam setiap tahapan amplifikasi sel, tripsin harus dicuci bersih oleh karena Tripsin akan menyebabkan gangguan pada saat sel vero menempel pada mikrokarier. Sementara yang masih menjadi polemic adalah pembersihan vaksin dari unsur najis/babi. Untuk itu persoalannya adalah apakah ada bahan yang bisa menggantikan debu dan air untuk mensucikan sesuatu dari najis?

 

Sejarah vaksin

 

Menengok sejarah vaksin sesungguhnya hanya akan mengungkap prilaku mengerikan dan keji yang dilakukan oleh kalangan Yahudi untuk menguasai dunia dengan cara menyebarkan racun /kuman pembunuh kepada ras lain, terutama kaum muslim. Hal ini juga diungkap oleh Jerrry D. Gray dalam bukunya Deadly Mist-Upaya Amerika Merusak Kesehatan Manusia. Ternyata vaksin dijadikan senjata biologi pemusnah massal yang sistematis oleh zionis dan kronisnya sejak abad 18 yang diawaki Jendral Jeffrer Amherst yang menghabisi suku Indian dengan menyebar kuman dan penyakit yang disisipkan dalam selimut dan handuk yang dibagikan ke suku tersebut.

 

Dalam perkembangannya pada abad ke-19, serum/kuman atau virus dan materi berbahaya lainnya dijadikan amunisi sebagai senjata biologi dalam peperangan atau pemusnahan missal serta penyebaran racun yang dapat menyerang dan menghancurkan otak dan system syaraf pusat. Di abad ke-20, vaksin modern yang dikelola oleh Flexner Brothers, ternyata kegiatan mereka dalam penelitian tentang vaksinasi pada manusia didanai oleh keluarga Rockefeller. Sedangkan Rockefeller sendiri adalah salah satu keluarga Yahudi yang paling berpengaruh di dunia, dan bagian dari zionisme internasional yang memprakarsai pendirian WHO dan lembaga dunia lainnya.

 

Pendeknya dari data historis bahwa vaksinasi dijadikan program zionisme internasional dalam rangka menggapai misi “New World Order” (Tatanan Dunia Baru) untuk melestarikan kekuasaan Yahudi. Sementara program vaksin ini merupakan bagian dari strategi misi pengendalian jumlah penduduk. Dalam memuluskan program ini mereka meraup dua keuntungan sekaligus, yakni penduduk terkendali dan menuai keuntungan yang besar.

 

Artinya boleh jadi niat busuk Yahudi senada dengan teori, bila ingin senjata laku maka ciptakan perang. Begitu juga dalam masalah ini, mereka beranjak dari teori bila ‘obat’ (produk farmasi) ingin laku dan membuat orang lain menderita, ciptakan penyakit. Dengan strategi pembodohan ini Yahudi berusaha membuat bangsa lain menderita sambil menguras isi kantongnya dengan alas an kesehatan.

 

Sedikitnya ada empat cara membuat vaksin, yaitu : pembuatan vaksin dari virus yang dimatikan (rujukan WHO saat ini), vaksin dari virus hidup yang dilemahkan, vaksin berupa virus hidup recombinan menggunakan virus baculo, dan vaksin DNA.

 

Lebih jelas lagi tentang penggunaan barang haram untuk vaksin ini pernah diungkapkan oleh dr. Husniah Rubiana Thamrin ketika masih menjabat kepala badan obat dan makanan (BPOM) kepada media. Dia membenarkan dalam proses pembuatan vaksin meningitis yang diwajibkan untuk calon jamaah haji bersentuhan dengan unsure babi.

 

“Dari hasil pemeriksaan kami dan evaluasi yang dilakukan, pada proses pembuatan vaksin meningitis memang benar bersentuhan dengan unsur babi. Hanya saja, dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap produk yang dalam proses produksinya bersentuhan dengan bahan haram, adalah haram,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (27/06/09)

 

Anna Priangani, dari Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI pun menegaskan kebenaran dalam proses pembuatan vaksin meningitis menggunakan bahan media dari lemak babi (gliserol). Karena pihaknya pernah diundang Depkes untuk mendengarkan proses pembuatan vaksin meningitis dari produsennya asal Belgia.

 

Menurut Wakil Direktur LPPOM MUI DIY Bidang sertifikasi Prof. Umar Santosa, MSc, apabila dalam proses produksi vaksin menggunakan unsure babi, hal ini telah mengharamkan proses selanjutnya. Dalam menentukan haramnya suatu produk itu mendahulukan system managemen produk dan komitmen analisis kimia.

 

Bila Departemen Kesehatan memandang vaksin meningitis itu tidak haram, karena Depkes hanya melihat produk akhirnya saja. Padahal untuk mendeteksi produk akhir itu tergantung dari ketelitian deteksi dan ini juga tergantung dari peralatanyang dimiliki. Bagi yang tidak mengetahui prinsip-prinsip halal suatu produk memang hanya melihat dari hasil akhirnya saja. Padahal, ia menambahkan, pada prinsipnya segala sesuatu yang diproses dari bahan haram semuanya kan menjadi haram. (Republika Online, (14/06/09).

 

Peraturan Badan POM

 

Sekaitan dengan polemic penggunaan babi dalam produk obat, obat tradisional, kosmetik atau suplemen, pemerintah sendiri telah meneluarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK. 00.05.1.23.3516 yang ditetapkan pada 31 Agustus 2009 ditanda tangani dr. Husniah Rubiana Akib, MS, MKes, SpFK. Dalam peraturan ini jelas dinyatakan bahwa semua produk obat dan produk probiologi yang bersumber babi/porcine harus mencantumkan keterangan tertulis “Bersumber Babi” dengan warna merah dan dasar putih (Bab II Pasal 3 Ayat 7).

 

Adapun pada ayat 8 manyatakan produk obat dan produk biologi yang pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi/porcine dicantumkan informasi dalam kotak dengan warna merah di atas dasar putih “Pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi dan telah dipurifikasi sehingga tidak terdeteksi pada produk akhir”.

 

Izin juga tidak diberikan pada produk yang berasal dari setiap binatang yang mempunyai kuku pencakar yang memakan mangsanya secara menerkam atau menyambar, binatang-binatang yang dilarang oleh islam membunuhnya seperti lebah, burung hud-hud, kodok dan semut, daging yang dipotong dari binatang halal padahal binatang tersebut masih hidup, setiap binatang yang beracun dan memudharatkan apabila dimakan, setiap binatang yang hidup di dua alam seperti kura-kura, buaya, biawak, dan sebagainya, dan darah, urin, feses (kotoran) serta plasenta.

 

Sementara pada bab III tentang produk obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan, dijelaskan pemerintah tidak memberikan izin edar bagi produk yang bersumber, mengandung atau berasal dari bahan tertentu. Bahan tertentu yang dimaksud diurai dalam BAB 1 pasal 2 yaitu babi, anjing, anak yang lahir dari perkawinan keduanya, bangkai, termasuk binatng mati tanpa disembelih menurut cara Islam kecuali ikan dan belalang, tiap binatang yang dirasa menjijikan menurut fitrah manusia untuk memakannya seperti cacing, kutu, lintah, dan sebagainya, setiap binatang yang mempunyai taring.

 

Pada Bab IV pasal 6 dinyatakan bahwa produk makanan dan minuman yang bersumber, mengandung atau berasal dari bahan tertentu tidak diberikan izin edar. Dan dikecualikan pada produk makanan dan minuman yang bersumber, mengandung atau berasal dari babi harus mencantumkan tulisan dan gambar mengandung babi + gambar babi”. Persoalannya, sudahkah peraturan ini ditaati? Pasalnya betapa banyak obat, makanan dan minuman, obat tradisional, kosmetik yang diduga kuat bersumber, mengandung atau berasal dari babi dan barang haram lainnya, termasuk vaksin?

 

Vaksin dan Kepentingan Bisnis

 

Adanya kepentingan bisnis dan siasat merusak kesehatan manusia di balik pemberlakuan vaksinasi/imunisasi semakin mudah dipahami. Apalagi bila dicermati bahwa imunisasi vaksinasi merupakan perbuatan yang membingungkan dan sulit diterima akal sehat, apalagi jelas bertentangan dengan aturan Islam. Betapa hanya dengan alasan menguji daya tahan dan menyebar terror terjadinya penyebaran penyakit harus dilakukan dengan memasukkan bibit penyakit dan materi beracun/berbahaya bagi tubuh?

 

Alhasil para pelaku vaksin sebaiknya ditanya, “apakah untuk melindungi rumah kita dari tikus, kita harus memasukkan dan memelihara tikus di rumah?” Atau “Apakah bila kita ingin melindungi kamar dari ular, kita simpan ular ganas di kamar?” Atau “Apakah bila kita ingin melindungi diri dari godaan dan tipu daya setan, lantas kita harus memasukkan setan ke tubuh?” Nah berikutnya, “Apakah bila kita ingin melindungi diri dari penyakit, lantas kita harus menelan dan disuntik bibit penyakit?” Untuk itu sangat mustahil menghindari keburukan dengan keburukan baru.

 

Bukankah usaha vaksinasi hanya akan memberikan pembenaran semakin banyaknya orang yang terinfeksi penyakit tertentu dan terjadinya penyebaran penyakit di daerah atau Negara tertentu, padahal sebelumnya aman-aman saja? Artinya semakin banyak manusia yang divaksin hanya akan memberikan alas an kuat terjadinya wabah penyakit di daerah atau Negara tersebut, walaupun sebelumnya sehat dan bebas dari penyakit itu?

 

Belum lagi dampak dari vaksin (imunisasi). Pasalnya ada vaksin yang aktif dan pasif, maksudnya vaksin aktif, bila vaksin itu diberikan reaksinya bisa secara cepat bereaksi, sedangkan yang pasif reaksinya bisa terjadi dalam waktu relative lama (bisa lebih dari satu tahun). Dampak buruk yang mengganggu kesehatan, khususnya balita, sangat memungkinkan dengan indikasi semakin banyak orang tua yang membawa anaknya yang sakit-sakitan atau mengalami gangguan mental untuk berobat. Pada gilirannya kantong mereka terkuras, lantaran harus rutin berobat. Apakah hal ini pernah direnungkan sebagai dampak buruk dari vaksin?

 

Bila dikaji ulang, pemberian vaksin/imunisasi boleh jadi bertentangan dengan aturan yang dikeluarkan Badan POM RI sendiri yang tidak memberikan izin edar produk yang bersumber dari bahan tertentu. Bukankah vaksin diambil dari darah yang mengandung penyakit dan terlibatnya babi dan bahan berbahaya lainnya? Belum lagi aturan lembaga tersebut yang harus mencantumkan “Bersumber Babi” dan penjelasan prosesnya bagi produk-produk farmasi?

 

Hentikan Vaksin

 

Setelah merenungkan agenda keji Yahudi serta dampak buruk vaksin, cukup banyak tenaga medis dan bidan yang menghentikan (tidak mau memberikan iminusasi) baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Bidan Emma misalnya, berusaha menghentikan program imunisasi di kliniknya. Dengan alas an bahwa dia tidak ingin berbuat dzholim terhadap bayi dan masyarakat dengan memasukkan ragam barang haram yang sangat efektif merusak dan menghancurkan masa depan dan kesehatan.

 

Dia mendapati semakin banyak jenis vaksin dan imunisasi mulai balita sampai dewasa, antara lain mulai usia bayi 0-1 minggu diberikan vaksin hepatitis ketika 2 jam kelahiran, 1minggu-3 bulan diberikan vaksin BCG, DPT 1 – DPT V, Hepatitis 1 – III, polio 1 – IV, usia 1 tahun vaksin campak, usia 1-3 tahun diberi vaksin MMR (Measles/campak, Mumps/gondong, Rubella/campak jerman), usia kelas VI SD diberikan vaksin DPT VI. Sedangkan bagi dewasa diberlakukan vaksin anti kanker servik, vaksin TT (Tetanus Toxoid) untuk ibu hamil, vaksin meningitis untuk calon jamaah haji, vaksin rabies, vaksin pneumococcus, smallpox, influenza, demam tifoid, cacar air, hepatitis A dan lainnya.

 

Menurut bidan Emma vaksin hepatitis B membuat organ-organ tubuh bayi terutama liver menjadi sangat terpaksa/berat merespon virus-virus dan zat kimia. Hal ini memungkinkan terjadi kelemahan fungsi lever untuk tahap kehidupan berikutnya. “Usia bayi sangat jauh tertular hepatitis, dan vaksin yang diberikan malah mengancam livernya.” Yang jelas setiap langkah dan gerak kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala, termasuk mengapa kita mendzhalimi anak-anak dengan bahan-bahan yang haram dan buruk,” ujarnya seraya menegaskan bahwa Allah Ta’ala berulang kali menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa musuh nyata bagi manusia adalah setan bukan virus, kuman atau bakteri.

 

Pada diskusi bertajuk “Vaksinasi, masihkah diperlukan?,” yang digelar Forum Kajian tokoh Muslimah-Hizbut Tahrir Indonesia, di Gedung Wisma Dharmala Sakti, Jakarta (27/8/09) dengan pembicara Dr. Rini Syafri, M.Si dari DPP HTI dan dr. Flora Ekasari, Sp. P, praktisi kesehatan dari RS Pusat Angkatan Udara, terdapat kesimpulan bahwa vaksinasi hanya menjadi mimpi buruk bagi dunia akibat berlakunya system sekuler.

 

Sebagaimana dirilis Hidayatullah.com, Rini Syafitri menyatakan bahwa vaksinasi berdampak mencelakakan manusia. Hal ini yang memaksa AS mendirikan The Vaccine Adverse Events Reporting System (VAERS), yang mencatat berbagai reaksi buruk yang disebabkan oleh berbagai program vaksinasi. Di antaranya vaksinasi DPT (difteri, pertusis, tetanus), Hib (haemophilus influenza b), MMR, dan OPV. Menurut laporan VAERS, dari tahun 1999-2002 tercatat 244.424 kasus, dengan 2.866 kasus kematian. Begitu seriusnya, sehingga kongres AS memberlakukan Undang-undang kompensasi cedera vaksin anak-anak nasional pada tahun 1986 dan mewajibkan pencatatan kejadian buruk. Bahkan kesadaran masyarakat di AS dan beberapa Negara di Eropa seperti Prancis, Kanada, Inggris, dan Belanda telah membatalkan beberapa program vaksinasi.

 

Berbagai efek negative ini, kata Rini, ditimbulkan sejumlah bahan berbahaya yang terdapat dalam vaksin seperti mikroorganisme (bakteri atau virus) yang dilemahkan atau dimatikan, logam berat (thimerosal), dan alumunium hidroksida. Potensi bahaya vaksin juga terjadi dikarenakan proses pemberiannya. Sebab, berbagai bahan asing itu dipaksakan masuk ke dalam tubuh.

 

Namun, kata Rini, berbagai catatan kelam seputar program vaksinasi seolah lenyap. “Terhimpit oleh jurnal-jurnal ilmiah dan laporan WHO (badan kesehatan dunia) yang datang membawa segudang data. Orang menjadi tidak mendapat kesempatan untuk bertanya : benarkah semua data tersebut? Bernarkah tidak ada kepentingan perusahaan vaksin di dalamnya?”

 

Dengan sekelumit uraian tentang vaksin (imunisasi) yang tidak sedikitpun ada manfaat yang bisa dipetik, bahkan sebaliknya memasukkan virus dan barang beracun itu membahayakan dan mengancam kesehatan jasmani dan rohani dalam waktu cepat atau lambat? Apakah dari data dan fakta yang ada masih belum cukup? Terlebih lagi Islam jelas-jelas melarang mengkonsumsi dan menggunakan barang haram untuk pengobatan maupun merawat kesehatan.

 

Untuk itu sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Dr. Abdul Fatah Wibisono menghimbau masyarakat agar lebih berhati-hati menggunakan produk-produk yang ditengarai terkontaminasi benda najis, terutama babi.

 

Sementara Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Dewan Dakwah Islamiyah Abdul Wahid Alwi, MA mengingatkan dalam masalah vaksin sebaiknya dikembalikan pada kaidah ushuliyah fiqh: La Dharar Wala Dhirar,  yakni dalam melakukan sesuatu tidak boleh mengundang bahaya atau mudharat kepada siapa pun termasuk pada diri sendiri. Selain itu juga didasarkan pada kaidah dilarangnya kita menjerumuskan diri dalam kerusakan atau kebinasaan.

 

“Karena itu semuanya harus dilihat efek sampingnya, baik atau tidak?” ucapnya.

 

Dengan demikian apakah mungkin kita mendapatkan kebaikan dari suatu keburukan yang bersarang di tubuh kita? Lebih jauh apakah kita enggan untuk belajar dan menelaah siapakah sebenarnya “otak” dibalik imunisasi dan apa mau mereka? Bila tujuan mereka adalah pemusnahan missal dan bisnis semata melalui penyebaran racun, pertanyaannya, maukah kita diracun dan dibodohi? WALLAHU A’LAM

 

BAHAN VAKSIN

 

Ummu Salamah mengurai bahan utama vaksin adalah kuman virus atau bakteri hidup atau mati, toksoid atau DNA dengan tambahan bahan tertentu, menjalankan berbagai fungsi dan biakan pembuatan vaksin.

 

Bahan vaksin tersebut antara lain:

 

Alumunium. Logam ini ditambahkan kepada vaksin dalam bentuk gel atau garam untuk mendorong produksi antibody. Logam ini dikenal sebagai kemungkinan penyebab kejang, penyakit Alzheimer, kerusakan otak dan dementia (pikun). Menurut persatuan pemerhati vaksin Australia bahan ini dapat meracuni darah, syaraf pernafasan, mengganggu system imun dan syaraf seumur hidup. Alumunium digunakan pada vaksin DPT, Dapt dan hepatitis B.

 

Benzetonium klorida. Yaitu bahan pengawet yang belum dievaluasi untuk konsumsi manusia dan banyak digunakan untuk vaksin anthrax.

 

Etilen Glikol. Merupakan bahan utama anti beku yang digunakan pada beberapa vaksin yaitu DaPT, polio, hepatitis B sebagai bahan pengawet.

 

Formaldehida/formalin. Bahan ini menimbulkan kekhawatiran besar karena dikenal sebagai karsinogen (zat pencetus kanker). Bahan ini dikenal untuk penggunaan pembalseman, fungisida, insektisida dalam pembuatan bahan peledak dan kain. Bahan ini dapat ditemukan pada beberapa vaksin.

 

Gelatin. Adalah bahan yang dikenal sebagai allergen (bahan pemicu alergi). Bahan ini ditemukan pada vaksin cacar air dan MMR.

 

Glutamate. Digunakan untuk menstabilkan beberapa vaksin panas, cahaya dan kondisi lingkungan lainnya. Bahan ini dikenal menyebabkan reaksi buruk dan ditemukan pada vaksin varicella.

 

Neomycin. Antibiotic ini digunakan untuk mencegah pertumbuhan kuman di dalam biakan vaksin. Bahan ini menyebabkan reaksi alergi pada beberapa orang dan ditemukan pada vaksin MMR dan polio.

 

Fenol. Bahan yang berasal dari tar batubara ini digunakan di dalam produk bahan pewarna, desinfektan, plastic, bahan pengawet dan germisida. Bahan ini sangat beracun dan membahayakan.

 

Streptomisin. Antibiotika ini dikenal menimbulkan reaksi alergi dan ditemukan pada vaksin polio.

 

Timerosal.  Bahan ini adalah pengawet yang mengandung 50% etil merkuri yang mempunyai banyak sifat yang sama dengan merkuri (air raksa) yang sangat beracun.

 

Sementara persatuan pemerhati vaksin Australia juga mencatat adanya bahan lain dalam vaksin antara lain:

 

Ammonium sulfat. Diduga dapat meracuni system pencernaan, hati, syaraf, dan system pernafasan.

 

Ampotericin B. sejenis obat yang digunakan untuk mencegah penyakit jamur. Efek sampingnya menyebabkan pembekuan darah, bentuk sel darah merah menjadi tidak sempurna, masalah ginjal, kelesuan, demam dan alergi pada kulit.

 

Kasein. Perekat yang kuat, sering digunakan untuk melekatkan label pada botol. Walaupun dihasilkan dari susu, namun di dalam tubuh bahan ini dianggap protein asing yang beracun.

 

Polysorbate 20 dan polysorbate 80.  Bahan yang meracuni kulit atau organ genital.

 

JURUS LINDUNGI ANAK DAN IBU HAMIL DARI VAKSIN

 

Tidak sedikit masyarakat yang menolak vaksinasi. Namun dikarenakan ketidakmengertian, orang-orang yang ingin menolak vaksinasi seringkali tidak mengerti kapan mereka harus mengatakan hal tersebut. Berikut ini tips dari bidan Emma untuk melindungi anak dan ibu hamil dari vaksin :

 

Bila ibu melakukan pemeriksaan kehamilan di RS, Puskesmas, klinik atau bidan, kata-kata pertama yang harus ibu sampaikan adalah ibu tidak bersedia untuk di Imunisasi Tetanus Toxoid. Bila ibu menunda perkataan ini ibu akan langsung disuntik.

 

  1. Bila ibu akan melahirkan, buatlah surat pernyataan yang dibuat dirumah dan ditandatangani oleh suami/ibu sendiri yang menyatakan bahwa jika bayi sudah dilahirkan, ibu/suami tidak ingin anaknya di imunisasi dengan vaksin hepatitis B/BCG.
  2. Bila tidak disiapkan sebelumnya, maka bayi itu akan langsung diimunisasi tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada orangtua si bayi.
  3. Bila ibu membawa anak ke tempat pelayanan kesehatan, bahwa saya datang tidak untuk imunisasi, tapi hanya ingin mengetahui keadaan tumbuh kembang anak saya. Bila ibu mendapatkan penjelasan tentang imunisasi dan ibu tetap yakin akan dalil yang telah ditetapkan oleh agama, maka ibu bisa katakana, “Saya hanya takut kepada Allah, dan dilarang takut pada selain-Nya, seperti kuman/penyakit.”

 

 

Tahnik, tuntunan Haq kesehatan bayi

 

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Sahabat Anshor Abu Musa berkisah: “(Suatu saat) aku memiliki anak yang baru lahir, kemudian aku mendatangi Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau member nama padanya dan beliau mentahnik dengan sebutir kurma.”

 

Tahnik atau meloloh bayi dengan kurma adalah sebuah syariat yang menakjubkan, karena didalamnya terdapat manfaat-manfaat kesehatan jasmani dan rohani yang tak tebilang.